Laman

Minggu, 22 September 2013

PULAU LAE - LAE





Lae-lae adalah sebuah pulau yang terletak di Kelurahan Lae-Lae Kecamatan Ujung Pandang Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bagi yang senang menjelajah pulau-pulau sekitar Makassar, pulau lae-lae ini jelas terlihat dari pantai losari. Pulau dengan luas 0,04 km² ini di huni sekitar 2.000 jiwa. Jarak pulau ini dari Makassar sekitar 1,5 km, atau cukup 10 menit perjalanan dengan menggunakan dengan menggunakan perahu nelayan dari daratan utama kota Makassar dermaga Kayu Bngkoa atau dermaga depan Benteng Fort Rotterdam Makassar. Biaya saat ini sekitar Rp. 15.000 untuk pulang pergi per kepala. Bisa dengan perjanjian dengan pemilik perahu jam berapa akan di jemput atau bisa menyimpan nomer kontaknya agar leluasa menghubunginya. 

Perjalanan 10 menit yang sangat singkat itu mengantar kita ke dermaga kecil depan pulau atau bisa juga atas permintaan penumpang diturunkan di dekat pantai karang dan bukan dekat pemukiman penduduk. 




Setelah sampai di pantai karang itu disana banyak disewakan balai-balai bambu beratap untuk santai, harga berkisar Rp 25.000 - Rp 45.000,- Buat penumpang yang lupa bawa bekal makanan, jangan ragu, disana banyak warung-warung yang menyediakan makanan dan minuman, tapi jika ingin bersantai sambil bakar ikan bisa juga ikutan repot membawa semua bahan-bahannya dari Makassar 

Deretan pohon-pohon kering sepanjang pantai memberi pemandangan yang indah, dan jika pintar mengambil sudut-sudut tertentu untuk membidik lewat kamera, maka Anda akan mendapatkan suasana seperti musim gugur di luar negeri. 



Untuk pantainya, meski pasir putihnya tidak sehalus tepung, tapi lumayan buat menikmati suasana pantai. Bagi yang ingin snorkeling bisa membawa perlengkapan sendiri. Pantai ini juga paling tepat buat yang ingin belajar berenang di air laut, sebab disini bulu babi yang sangat menyakitkan itu jarang terdapat di sekitar pantai ini.




Setelah puas berenang berfoto dengan panorama deretan pohon kering. Anda bisa mengunjungi sisi selatan pulau dengan batu batu pemecah ombak yang berbentuk piramida segitiga, di sekitar itu ada kuburan yang konon merupakan kuburan seorang keturunan Tionghoa Arab. 

Asal muasal nama lae-lae sendiri menurut cerita ada sebuah kapal yang penuh dengan penumpang cina dan terdampar di karang berpasir dan banya tumbuh semak-semak pohon pandan. Saat itu ributlah penumpang Cina memanggil-manggil lae-lae artinya ke mari, ke mari. Maka dinamakanlah karang berpasir itu Lae-Lae, begitu pula dinamakan tanjung itu Ujung Pandang yang saat ini berganti nama kembali menjadi Makassar 

Pulau ini juga memiliki gardu listrik sendiri, seandainya penduduk setempat bisa lebih dibina dan lae-lae ini dijadikan tempat wisata dengan memberdayakan penduduk setempat, menjajakan kerajinan, juga menyediakan tempat penginapan yang di kelola penduduk setempat maka akan sangat menarik sebagai tempat wisata nelayan.




BENTENG SOMBA OPU





Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX yang bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘ Kallonna pada tahun 1525. Pada pertengahan abad ke-16, benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa.

Pada tanggal 24 Juni 1669, benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang. Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi sehingga tampak lebih indah. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah obyek wisata yang sangat menarik, yaitu sebagai sebuah museum bersejarah.

Benteng Somba Opu terletak di Jl. Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa. Jaraknya sekitar enam kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar. Benteng Somba Opu dapat diakses dari pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi) dengan angkutan kota (pete-pete) atau taksi. Jika menggunakan angkutan kota, dari Lapangan Karebosu menumpang angkutan kota jurusan Cendrawasih. Dari Cendrawasih berganti angkutan menuju Bentang Somba Opu.


1.   Sejarah Benteng Somba Opu 




Benteng Somba Opu adalah benteng utama Kerajaan Gowa. Didirikan atas perintah raja Gowa IX , Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna. Untuk memmbentengi kota Somba Opu dengan dinding tanah liat. Pembangunan itu dilanjutkan oleh Sultan Hasanuddin dan raja-raja sesudahnya. Sehimgga Benteng Somba Opu menjadi sebuah benteng yang sangat kuat.

Benteng somba opu berbentuk segi empat, tiap sisinya berykuran kurang lebih 2 kilo meter dengan tinggi 7-8 meter, tebalnya rata-rata 12 kaki. Terdapat 4 buah selokoh berbentuk setengah lingkaran untuk menempatkan senjata-senjata berat, seperti meriam. Sebuah selokoh paling besar terdapat pada sudut barat laut yang diberi nama Baluwara Agung. Di Baluwara Agung inilah di tempatkan meriam besar yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa yang dikenal dengan nama Meriam Anak Makassar.

Serangan Belanda di bawah pimpinan C.J. Speelma pada tanggal 15 Juni 1669 terhadap Benteng Somba Opu menyebabkan terjadinya perang besar antara Kerajaan Gowa dengan Belanda. Kmudian pada tanggal 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu akhirnya benar-benar jatuh ke tangan Belanda dan oleh Speelman , Benteng Somba Opu dihancurkan dengan ribuan pon bahan peledak.

Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi sehingga tampak lebih indah. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah obyek wisata yang sangat menarik, yaitu sebagai sebuah museum bersejarah.

Ilmuwan Inggris, William Wallace, menyatakan, Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara. Benteng ini adalah saksi sejarah kegigihan Sultan Hasanuddin serta rakyatnya mempertahankan kedaulatan negerinya.

Pernyataan Wallace bisa jadi benar. Begitu memasuki kawasan Benteng Somba Opu, akan segera terlihat tembok benteng yang kokoh. Menggambarkan sistem pertahanan yang sempurna pada zamannya. Meski terbuat dari batu bata merah, dilihat dari ketebalan dinding, dapatlah terbayangkan betapa benteng ini amat sulit ditembus dan diruntuhkan.

Ada tiga bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion di sebelah barat daya, bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung. Di bastion inilah pernah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki orang Indonesia. Namanya Meriam Anak Makassar. Bobotnya mencapai 9.500 kg, dengan panjang 6 meter, dan diameter 4,14 cm.

Sebenarnya, Benteng Somba Opu sekarang ini lebih tepat dikatakan sebagai reruntuhan dengan sisa-sisa beberapa dinding yang masih tegak berdiri. Bentuk benteng ini pun belum diketahui secara persis meski upaya ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk benteng ini adalah segi empat.

Di beberapa bagian terdapat patok-patok beton yang memberi tanda bahwa di bawahnya terdapat dinding yang belum tergali. Memang, setelah berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Belanda menghancurkan benteng ini. Selama ratusan tahun, sisa-sisa benteng terbenam di dalam tanah akibat naiknya sedimentasi dari laut.

Secara arsitektural, begitu menurut peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke timur. Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter.

Benteng Somba Opu sekarang ini berada di dalam kompleks Miniatur Budaya Sulawesi Selatan. Wisatawan dapat menikmati bentuk-bentuk rumah tradisional Sulawesi Selatan seperti rumah tradisional Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar tak jauh dari benteng.


2.    Museum Karaeng Pattingalloang




Museum yang terletak di dalam kawasan Benteng Somba Opu ini didirikan pada tahun 1992 untuk melengkapi Taman Miniatur Sulawesi Selatan yng diberi nama Museum Karaeng Pattingalloang, diambil dari nama salah seorang tokoh cendikiawan Kerajaan Gowa.

Karaeng Pattingalloang lahir pad tahun 1600 bernama lengkap “I mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud”, putra Raja Tallo “I Mallingkaaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Ia pernah menjabat sebagai pelaksana Raja Tallo, karena I Mappaijo Daeng Manyuru yang diangkat sebagai Raja Tallo baru berusia 1 tahun.

Karaeng Pattingalloang menjabat Mangkubumi Kerajaan Gowa pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1654.

Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kecakapannya melebihi orang-orang Bugis-Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun, ia telah menguasai banyak bahasa asing, seperti: bahasa Latin, bahasa Yunani, Itali, Prancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa asing lainnya.

Selain itu Karaeng Pattingalloang juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Hindia Belanda melalui wakilnya di Batavia pernah menghadiahi Karaeng Pattingalloang sebuah Globe “Bula Dunia” pada tahun 1652 yang khusus dibuat di Belanda.


Beliau juga seorang saudagar, ia bersama Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedro Ia Mata, konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta seorang pelaut ulung Potugis Fransisco Viera de Fihgeiro untuk berdagang dalam negeri.

Karaeng Pattingalloang adalah tokoh cendikiawan dan negarawan Kerajaan Gowa di masa lalu. Beliau wafat pada 17 September 1654. Ia pernah berpesn kepada generasi yang ditinggalkan unuk menjaga lima hal yang dapat menyebabkan runtuhnya suatu negeri yang besar, yaitu:

ð Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Manggauka

“Apabila Raja yang sedang bertahta tidak mau dinasehati lagi”


ð Punna taenamo tu mangngasseng ri lalang pa’rasanganga


“Apabila tidak ada lagi orang cerdik-pandai di dalam negeri

ð Punna majai gau’ lompo ri lalalng pa rasanganga

“Apabila sering terjadi huru-hara di dalam negeri

ð Punna angngallengasemmi soso’ pabbicaraya

“Apabila para penegak hukum sudah menerima suap”

ð Punna taenamo nakamaseyangngi atanna Karaeng Manggau’ka

“Apabila Raja yang sedang berkuasa sudah tidak lagi mengasihi rakyatnya”



3.       Beberapa Koleksi Museum Karaeng Pattingalloang




Koleksi Museum Karaeng Pattingalloang sebaguan besar diperoleh melalui ekskavasi penyelamatan Benteng Somba Opu pada tahun 1989, sebelum direvitalisasi menjadi Taman Miniatur Sulawesi Selatan. Koleksi-koleksi tersebut berupa material batu bata yang digunakan dalam pembangunan Benteng Somba Opu, fragmen porselin, fragmen gerabah, alat upacara, replica senjata tradisinal yang digunakan dalam upacara kerajaan dan pakaian adat empat etnik di Sulawesi Selatan dan Barat serta koleksi mata uang kuno yang pernah berlaku di Indonesia (Neumismatik).

a. Koleksi Material Batu Bata

b. Koleksi Fragmen Porselin

c. Koleksi fargmen Gerabah

d. Koleksi Alat Upacara

e. Replika Senjata Tradisional

f. Koleksi Mata Uang

g. Pakaian Adat Empat Etnik